Selagi Masih Bisa






Prolog


Kata mereka, hidup tak lain adalah soal pertemuan dan perpisahan. Segala hal yang menjadi milik kita, atau berada di sisi kita, akan kembali tiada. Layaknya semula. Seperti halnya berpisah dengan manusia lainnya. Bisa jadi karena mengejar impian, atau oleh sebab kematian.


***


Adalah wanita lanjut usia yang selalu tersenyum setiap kali gue berpapasan dengannya. Senyum yang tidak hanya dilengkungkan oleh bibir, tapi juga dapat dilihat dari binar matanya. Siapapun yang melihatnya, menurut gue, akan paham kalau senyum tersebut memang tulus dari hati. Gayanya yang selalu tampak mengenakan rok di bawah lutut, serta baju model kebaya jaman dulu. Meski sudah memasuki usia senja, rambutnya yang lurus sebahu tak nampak kusam. Sama sekali. Seringkali gue berpapasan dengan beliau saat keluar dari Gg. H Psikologi UI, atau menuju Gd C.

Setiap kali kami berpapasan, kami selalu tersenyum satu sama lain. Bukan karena terpaksa senyum untuk menghargai dosen, tapi respon alamiah ketika menerima senyuman tulus yang memang datang dari hati. Gue juga dengan sukarela memberikan senyum tertulus gue. Apalagi karena beliau berjalan dengan lambat dan cenderung tertatih, gue punya cukup waktu untuk melihat dan merespon senyuman itu.

Pada beberapa kesempatan, gue bertanya ke siapapun teman gue yang sama-sama melihat beliau. Jawabannya seragam, bahwa gue dan mereka, menganggap beliau adalah dosen yang sudah purna atau selesai masa jabatan. Kenapa masih sering datang ke kampus? Dugaan gue adalah agar masa tuanya tak menjemukan. Mungkin beliau akan merasa ‘hidup’ jika berada di lingkungan yang membesarkan jiwanya, di Psi UI. Melihat mahasiswa modis nan wangi mondar mandir, berdiskusi di sudut-sudut kampus, sampai berlarian dari gedung satu ke gedung lainnya. Untuk memahami ilmu, dan diharapkan dapat mengamalkan dan membagikan ilmunya. Mungkin saja, kan?

Satu hal yang pasti dari ketidakpastian rekaan gue di atas adalah gue merasa dekat dengan beliau. Bahkan melebihi kedekatan dengan dosen-dosen yang mengajar gue. Tentu saja, karena seyuman yang tulus datang dari hati. See? Apapun yang datang dari hati, gue percaya, akan sampai ke hati juga. Setiap kali melihat beliau tersenyum, hati gue langsung menghangat. Gue merasa memiliki keluarga. Kalau saja gue tahu nama beliau, dengan senang hati gue akan selalu menyapa beliau, tiap kali kami berpapasan. Di manapun. Dan gue harap, sebelum lulus, gue bisa kenal nama beliau.


***

Epilog


Tiga hari yang lalu, ada ‘amplop’ kemanusiaan beredar di kelas gue. Biasanya untuk korban bencana, atau korban duka. Setelah amplop itu sampai di tangan gue, gue baca tulisan yang tertera. Oh, ada dosen yang meninggal, batin gue. Nama yang tertulis di amplop terasa asing bagi gue. Tak lama, ada sesuatu yang mengusik benak gue, sampai akhirnya gue googling nama beliau.

Dr. Semiati Ibnu Umar, and she’s her.

Benar saja, Allah mengabulkan doa gue. Sebelum gue lulus, di tahun ketiga, gue bisa mengenal nama beliau. Lewat ‘amplop’ kemanusiaan, untuk melepas kepergiannya. Tapi bukan untuk gue sapa saat bertemu, melainkan untuk gue sapa lewat doa. Selagi masih bisa.


Tidak ada komentar