Siswa SMP Dihamili Siswa SD : Mengapa Bisa Terjadi?


Sebuah ulasan sederhana dari berita di :


Sejak saya kuliah di psikologi, keprihatinan saya akan persoalan semacam ini semakin meningkat. Meskipun cikal bakalnya sudah dari SMA yang ketika itu saya memang suka mempelajari fenomena sosial lewat sudut padang sosiologi. Ketika itu saya baru mempelajari pentingnya peranan keluarga sebagai sistem sosial terkecil di masyarakat. Disebut sistem sosial karena di dalam keluarga terdapat pembagian peran antar anggota keluarga serta fungsi-fungsi di dalam keluarga yang harus dipenuhi. 

               Berdasarkan yang saya pelajari dulu, keluarga memiliki 8 fungsi yaitu untuk melanjutkan keturunan, sosialisasi, pendidikan, kasih sayang, ekonomi, pengawasan sosial, perlindungan, dan pemberian status. Semua hal ini saling berkaitan satu sama lain. Ketidakberfungsian salah satu aspek akan berdampak pada aspek yang lain. Pada konteks masalah ini, saya tidak bisa memastikan fungsi-fungsi mana yang tidak berjalan baik sehingga menyebabkan hamilnya anak di bawah umur (masih di bawah tanggung jawab orang tua atau belum berusia 17 tahun). Namun, saya akan membahas berdasarkan informasi yang ada.

1. Fungsi Sosialisasi
               Keluarga adalah lingkungan primer atau lingkungan yang akan ditemui anak pertama kali sejak lahir. Ayah dari siswa SD dalam kasus ini menganggap bahwa perbuatan anak laki-lakinya tersebut untuk menguji alat kelaminnya setelah dikhitan. Ayahnya mengabaikan peringatan dari warga sekitar perihal perilaku menyimpang yang dilakukan anaknya. Kalau ayahnya saja memiliki prinsip semacam itu, sudah dapat dibayangkan bagaimana siswa SD tersebut berinteraksi dengan orang lain, terutama perempuan. Jika ayahnya saja mengabaikan peringatan warga sekitar, bisa jadi anaknya juga ikutan mengabaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. 

2. Fungsi Pendidikan
              Keluarga adalah sarana pendidikan dan pembelajaran informal. Sejak anak lahir, sejatinya ia sudah belajar. Segala macam perubahan perilaku yang ditampilkan anak menunjukkan bahwa ia belajar. Anak yang menangis terus menerus, bisa jadi ia telah belajar kalau ia menangis maka orang tuanya akan mendekatinya. Ia sudah belajar pola dari reaksi orang tuanya. Begitu pula saat ia tumbuh berkembang. Segala macam perbuatan yang dilakukan orang tua kepada anak merupakan sarana pembelajaran bagi anak. Anak akan mengamati, meniru, dan barangkali memodifikasi dengan caranya sendiri. Kalau orang tuanya saja berprinsip seperti yang saya sebutkan di poin satu, pola kehidupannya juga tak jauh dari prinsipnya. Dalam arti, barangkali tidak ada pendidikan nilai agama, nilai moral, dan sebagainya. Kalaupun ada, berarti ada yang salah.

              Kedua poin ini jelas tidak berfungsi dengan semestinya ketika bahkan siswa SD sudah menghamili anak orang. Tidak berfungsinya aspek sosialisasi dan pendidikan tentu disebabkan oleh banyak faktor yang tidak diketahui. Tapi yang jelas, orang tua yang harus bertanggung jawab atas masalah ini. Sebab kedua anak ini masih beranjak remaja dan dalam tanggung jawab orang tuanya masing-masing. PR yang sama juga berlaku untuk keluarga si perempuan. Ada yang tidak berfungsi dalam keluarganya. 


             Pesan yang ingin saya sampaikan adalah, siapapun yang membaca tulisan ini dan merasa menjadi orang tua (baik sebagai kakak, orang tua yang memiliki anak, atau guru yang memiliki murid), jangan biarkan anak melakukan perilaku menyimpang sekecil apapun. Perilaku apa yang disebut menyimpang? Ya yang tidak sesuai dengan pedoman hidup kita seperti aturan agama atau hukum yang berlaku. Pembiaran dari kita lah yang membuat anak-anak terus menerus melakukan perilaku menyimpang. Sampai semua menjadi bubur, dan kita sebagai orang tua hanya bisa menyesali. Naudzubillah min dzaalik.

Tidak ada komentar