Kalimat pertama tulisan ini, rasanya harus saya tujukan pada kedua orang tua: terima kasih sudah menjaga anak perempuannya dengan sangat baik dengan penuh kehati-hatian. Saya tidak paham apa prinsip yang diimani orang tua saya dalam mendidik. Yang jelas, setidaknya sampai usia 22 tahun ini, beliau telah bekerja keras. Setidaknya sampai ketika saya ditanya:
Siapa orang yang akan kamu hubungi pertama kali dalam keadaan darurat?
Yang terlintas pertama kali adalah orang tua. Betul-betul hanya orang tua. Sekeras apapun saya berpikir, tidak ada nama lain yang muncul. Setelah saya pahami, ya memang semua kebutuhan saya dipenuhi oleh beliau. Jika ada yang punya pacar karena butuh support system baik dalam hal material maupun non-material, saya sudah mendapatkannya dari orang tua. Mau pergi kemana saja, tinggal pake ojek atau kereta. Mau beli apa saja, tinggal beli sendiri. Sampai-sampai seorang teman nyeletuk,
"Kok kamu kayak gak punya kehidupan asmata sih Tis?"
Benar juga. Saya malah baru benar-benar menyadari dan menerima kenyataan itu. Ketika dalam keadaan daruratpun saya hanya terpikir orang tua, menandakan bahwa tidak ada orang yang "sedekat itu" dengan saya yang bisa siap siaga jika saya butuh bantuan. Teman kan ala kadarnya saja. Pun akan tidak enak hati untuk terus menerus meminta bantuan, kalau hanya sekadar teman.
Sesaat setelah menyadari itu, sedih sih. Belum punya kehidupan asmara tapi sering patah hati hahaha. Iya, jatuh cinta sendirian itu ya begini nasibnya. Namun barangkali memang inilah keadaan yang diupayakan orang tua saya. Memenuhi segala kebutuhan, sehingga saya tidak sampai mencari pacar untuk dijadikan sandaran. Menjaga anak perempuannya agar tidak terjamah laki-laki sampai sudah halal baginya.
Saat SMA, bilangnya kalau mau pacaran ya nanti saja setelah lulus. Tapi sampai saya lulus sarjanapun masih tidak diperbolehkan, katanya nanti setelah lulus S2. Sepertinya memang tidak mengizinkan pacaran, sampai halal pada waktunya.
Tidak ada komentar