Ridho Allah





Sekitar 3 pekan ke belakang, saya memasuki lingkungan baru. Barangkali tidak benar-benar baru, tapi setidaknya cukup membuat saya kelimpungan untuk beradaptasi. Meskipun sudah lulus dari UI dalam waktu 4 tahun, tapi saya tidak pernah menginjakkan kaki di Kampus Salemba. Iya, saya bukan tipikal orang yang gemar bertualang. Jadi, kedatangan saya di UI Kampus Salemba untuk kali pertama adalah sebagai mahasiswa S2. Mahasiswa pascasarjana dengan jurusan yang tidak pernah terpikirkan selama 4 tahun dulu di S1. Bahkan sampai 2 minggu sebelum pendaftaran S2 pun, saya masih ingin menjadi psikolog klinis. Tapi ternyata takdir membelokkan keraguan saya saat itu, sampai akhirnya saya memilih Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Saya tergerak untuk menulis ini karena beberapa waktu lalu saya curhat ke teman baik saya. Kurang lebih saya menanyakan kepadanya tentang cara agar tidak larut dalam kegilaan hidup. Rutinitas weekdays dari pagi hingga malam selesai kuliah, lalu pulang ke kost hanya disambut sepi. Tidak ada pesan dari keluarga, pun sudah terlalu malam untuk menelepon. Ingin rasanya berbagi cerita dengan kekasih, tapi saya jomblo. Tidak ada “teman dekat” pria, apalagi mantan yang bisa dijadikan bahan stalking sebagai hiburan. Teman perempuan pun ala kadarnya, tidak bisa diajak chatting atau telepon malam-malam. Ya barangkali akan diangkat jika saya adalah pacarnya. Mau lanjut belajar pun, otak sudah lelah. Mau diajak tidur, tubuh ingin terjaga. Terus saya harus gimanaaaaa?

Akhirnya setelah saya curhat poin-poin penting yang membuat pundak saya terasa berat padahal tidak sedang menggendong siapapun, teman saya bertanya.

“Kenapa kamu S2?” tanyanya singkat.

Cukup lama saya berpikir, jawaban yang muncul di otak hanya satu. Benar-benar hanya satu. Saya mencoba mencari-cari alasan di dalam diri, yang muncul ya jawaban tersebut.

“Karena tuntutan orang tua dan sampai sekarang aku belum menemukan alasan internal yang kuat dari diri aku.”

Kemudian ia menanyakan beberapa pertanyaan lanjutan berkenaan dengan alasan orang tua saya yang menuntut saya untuk S2.

“Karena orang tua aku pengen menyekolahkan aku sampai S2 sebelum aku menikah.” Jawab saya singkat.

Saya mengingat-ingat lagi bagaimana orang tua saya betul-betul ingin mendidik saya agar menjadi putri terbaik bagi mereka. Saat SMP, saya ingat betul bapak saya pernah berkata,

“Bapak gak bisa ngasih apa-apa ke Mbak Itis. Bapak gak bisa ngasih warisan apa-apa selain ilmu. Bapak akan berusaha menyekolahkan Mbak Itis sampai batas kemampuan Mbak Itis. Semoga dengan ilmu itu, Mbak Itis bisa punya penghasilan yang bisa memenuhi kebutuhan Mbak Itis sendiri dan membantu suami. Ya, kita gak pernah tahu yang namanya jodoh dan rezeki.”

Kalimatnya kurang lebih begitu, setidaknya itu yang benar-benar saya ingat. Jika bapak saya senang memberi nasihat, mama saya senang memberi tuntutan. Saya harus ABCD.  Saya harus dapat peringkat bagus selama sekolah, juga harus dapat universitas bagus versi beliau. Saya masih ingat betul kejadian saat saya pulang bimbel dan masih mencoba membujuk mama agar saya boleh mendaftar di Universitas Brawijaya. Tidak lain karena saya suka dengan Malang. Beliau menjawab dengan emosional,

“Kalau orang tua tidak ridho, kamu tidak akan diterima di UB.”

Saya hanya diam dan berlalu dengan punggung terluka. Saya memang tidak bisa memohon-mohon. Sekali saya mengatakannya, dan jawaban yang keluar akan terasa begitu krusial; saya terluka atau tidak. Mendapati penolakan itu, untuk pertama kali saya membuka website Universitas Indonesia. Kampus yang tidak pernah ada dalam impian saya, apalagi benak saya. Saya benar-benar tidak ingin hidup di daerah Jakarta dan sekitarnya yang terlalu runyam bagi jiwa saya yang penyuka sepi. Sampai saya mendaftar hanya di UI, diterima di jurusan pertama via SNMPTN yaitu Ilmu Psikologi.

Reaksi yang sama ditampilkan oleh mama saya ketika saya diterima di Ilmu Komunikasi program magister khusus. Beliau langsung menciumi saya dengan mata berkaca-kaca. Tatapan yang membuat saya begitu berharga. Dari situ saya mulai menyadari bahwa menuruti semua tuntutan mama, selagi itu tidak melanggar norma, tidak sia-sia. Sebab jika saya tidak memilih jalur ini, saya tidak akan mendapatkan pengalaman hidup yang luar biasa bagi saya, di antaranya:
  •  Saya bisa belajar untuk mengelola sebuah acara melalui event-event di Sinematografi UI. Benar-benar pelajaran berharga bagi saya dididik oleh Kak Asus. Semangat terus untuk membuat event-event di Shopee menjadi lebih menarik.
  • Teman-teman baik saya di Fakultas Psikologi UI. Terima kasih banyak untuk penerimaan yang utuh dan tidak menghakimi.
  •  Dosen-dosen yang melekat di hati saya; Mbak Indira dan Mas Bona yang sedang menempuh pendidikan Ph.D di Belanda, Bu Damona (Buyang) selaku Pembimbing Akademik yang memberi banyak nasihat berarti dan Mas Iman yang bisa membuat saya aktif dan ekspresif di kelas.
  •  Keluarga Besar Scholars Baituzzakah Pertamina yang membuat saya belajar banyak hal. Terima kasih telah memfasilitasi untuk berakselerasi.
  • Teman-teman baik dari program TOEFL Camp di Elfast yang membuat satu bulan hidup saya menjadi episode paling membahagiakan seumur saya hidup 22 tahun ini. Missing you so bad.
  • Jogja dan kamar kost saya di dekat Upnormal Coffee Roaster Jalan Kaliurang. Terima kasih untuk kegelapan hidup yang ditawarkan sehingga saya bisa mantap memilih Ilmu Komunikasi. Jogja akan selalu saya ingat, lengkap dengan pahit manisnya.
  • Dan yang terbaru, untuk teman sekaligus kakak-kakak saya di Manajemen Komunikasi UI 2019. Teman matrikulasi B maupun kelas B. Terima kasih atas kehangatannya.
     Semua pengalaman luar biasa itu, tentu tidak akan terjadi jika saya tidak menuruti kemauan orang tua. Dari titik pertama hingga kini. Kalau saja konsep waktu berjalan mundur, sungguhlah saya tidak akan pusing dengan ketidakpastian hidup dan menerka-nerka makna dari setiap peristiwa. Hanya saja, seperti kata Soren Kierkegaard, 

     “Life only can be understood backwards, but it must be lived forwards.”

Tengoklah ke belakang untuk mencari makna, sekadar untuk menepis penyesalan bahwa semua yang terjadi tentu atas kehendak Allah. Namun hidup adalah tentang maju dan semoga Allah meridhoi langkah hambaNya yang berserah juga berusaha.

2 komentar

  1. ma sya allah, tabarakallah tis.
    Liat dr status watsap membuat aku jadi rindu menulis, dan menjadi motovasi aku untuk belajar, belajar dan berjuang

    BalasHapus
  2. Wah, terima kasih Put. Semoga kita ketemu yaa, pengen denger perkembangan bisnis warteg langsung dari suhunya nih1

    BalasHapus