BERPROSES DAN BERPROGRES



Di dunia ini, jarang sekali ada yang menyukai perubahan. Sebab, perubahan memaksa kita untuk mengikis zona nyaman. Tapi, kalau tidak berubah, kita akan menjadi roti kemarin: basi dan kering.
-
I was an extremely introvert person back then. Mama saya bahkan menghadiahi julukan “Muka Kuburan” karena saya jarang tersenyum, apalagi tertawa, apalagi berbicara. Suara saya keluar mungkin cuma kalau lagi belajar, yang itupun diminta berhenti karena dinilai seperti orang membaca berita, bukan belajar yang hening dan serius. Kalimat terpanjang yang saya keluarkan barangkali adalah waktu saya harus pidato sebagai perwakilan kelas 4 di acara perpisahan sekolah. 

Sekolah saya dulu bisa dibilang salah satu sekolah favorit untuk kategori madrasah di kampung. Di Tegal, hanya ada 3 Madrasah Ibtidaiyah Negeri. Salah satunya ada di desa saya. Jadi, setiap ada perpisahan sekolah, euforianya seperti pesta rakyat. Warga desa berbondong untuk datang dan menikmati pertunjukkan. Salah satunya adalah pidato anak kecil, yang literally kecil, makanya selalu disebut Si Kecil Cabe Rawit. Ditonton kepala sekolah, semua guru, wali murid, juga tokoh masyarakat. Kurang tokoh kartun aja (krik). Saya yang selama 8 tahun hidup jarang ngomong, harus bicara dengan bahasa yang tertata di depan ratusan orang. Sudah lupa deg-degannya seperti apa, sih. Tapi yang jelas, saya tidak suka. Bagaimana rasanya orang yang jarang ngomong lalu disuruh pidato?

Tapi ternyata, ketidaksukaan saya harus berlanjut. Saya diminta lagi untuk mengikuti perlombaan-perlombaan yang mengharuskan saya public speaking. Saya harus mengumpulkan ekstra energi untuk berbicara dalam durasi yang lama, non-stop, apalagi jadi pusat perhatian. Kelas 5, saya pidato lagi. Kelas 6, saya juga harus pidato lagi. Bahkan waktu perpisahan kelas 5 itu, saya harus tampil beberapa kali. Sampai ditunggu guru di toilet untuk ganti kostum. Pidato iya, percakapan dalam bahasa arab iya, sama ngapain gitu. Lucu-lucu pokoknya, nyanyi grup qosidah kayaknya deh. Bukan, bukan saya yang nyanyi. Saya jadi penari latar tentu saja.

Saya yang orangnya drama, harus nangis-nangis dulu. Tidak menyenangkan rasanya dilanda deg-degannya bertubi-tubi. Sampai waktu SMP, perpisahan kakak kelas, saya diminta untuk jadi MC versi Bahasa Arab. Pertama kalinya saya mengiyakan tanpa ragu. Bukan, bukan karena saya terlanjur PD. Tapi biar bisa lihat mantan bakal calon gebetan saja. Selepas acara, istri dari komite sekolah menyampaikan apresiasinya.

“Bahasa Arabnya bagus. Fasih dan lancar.”

Entah karena momennya lagi tepat atau apa, rasanya dalem banget. Mungkin karena manik mata beliau benar-benar tertuju ke saya, atau kelembutan suaranya, atau apapun itu. Saya yang tidak kenal secara personal, cuma bilang.

“Syukron katsir.”
-
Barangkali setelah momen diberi apresiasi dari komite sekolah itu, saya jadi suka public speaking. Atau sejak kelas 4 disuruh pidato itu, meski benci tapi cinta, mungkin. Saya gak paham pastinya. Tetap deg-degan, tetap mules-mules, tetap nangis-nangis. Tapi, suka aja sama sensasi itu. Meski saat tampil gak selalu prima, tapi setidaknya selalu ada pelajaran-pelajaran baru selama persiapan. Meskipun diberi kesempatan 1 menit, saya latihan lagi dan lagi. Mau jadi speaker di depan ratusan orang, atau hanya presenter di perkuliahan, tidak ada bedanya. Deg-degan dan mules-mules selama persiapan itulah momen berproses dan berprogres saya. Tidak menyenangkan memang. Tapi karena itulah saya merasa bertumbuh. Kalau ada satu hal yang ingin saya lakukan saat ini dan sampai nanti, itu adalah public speaking




Tidak ada komentar