"Hei, kamu cantik hari ini."
Siapa sih yang tidak suka jika dipuji demikian? Pujian palsu sekalipun, masih terdengar indah, setidaknya bagi diriku. Bagi saya, dan mungkin juga kamu, menilai tampilan fisik adalah hal yang sangat mudah dibandingkan menilai kualitas lainnya. Kita tidak butuh banyak waktu untuk menilai seseorang itu cantik/jelek. Kita tidak perlu repot-repot mengenal pribadi orang tersebut. Hanya bermodal indra penglihatan, kita sudah punya bekal untuk memuji kecantikan.
Tapi sayangnya, tidak semua orang terlahir "cantik" menurut standar manusia. Tidak semua orang mendapat lotere genetik itu. Karenanya, kita masih bisa berusaha untuk tampil menarik.
Tapi sayangnya, sekali lagi, patokan "menarik" yang kita upayakan juga masih berkutat pada tampilan fisik. Tidak salah memang, jika tidak berlebihan. Saya, dan mungkin juga kamu, seringkali menghabiskan banyak waktu dan uang untuk tampil menarik. Kita terlalu khawatir akan pandangan orang lain terhadap kita. Kita memaksa untuk terlihat sempurna. Jika kekhawatiran ini terjadi terus menerus, akan berujung pada yang disebut beauty sickness. Konsep ini diperkenalkan oleh seorang profesor psikologi, Renee Engeln.
Engeln menyarankan, mulailah berfokus pada kualitas diri yang lain. Kecerdasan, kedisiplinan, kebaikan hati, dan semacamnya. Jangan membiasakan memuji kecantikan pada anak kecil. Gantilah dengan pujian semacam,
"Hai Dik, kamu pintar sekali. Semangat terus ya belajarnya."
"Hai Dik, kamu baik deh. Makasih ya atas bantuannya."
Dan lain sebagainya.
Mulailah untuk menginvestasikan sumber daya yang kita miliki untuk memupuk kualitas yang long-lasting.
Kualitas yang tahan lama.
Depok, pada malam di penghujung bulan Oktober, 2015.
Tidak ada komentar