Surat yang Tidak Pernah Aku Kirimkan


Saat sedang membuka berkas lama tugas-tugas kuliah, saya menemukan laporan wawancara saya dengan Nenek NS yang saya kunjungi di salah satu panti werdha (panti jompo) di Jakarta. Tahun lalu, usianya sudah menginjak 84 tahun. Usia senja yang harus ia jalani bersama lansia lain, jauh dari anak cucu yang ia kasihi. Tapi apa daya, ia harus menunggu sisa hidup tanpa tahu kabar mereka, yang tidak pernah lagi mengunjunginya bertahun-tahun lamanya.

-

Berkali-kali Nenek NS mengungkapkan kegelisahannya menjalani hari per hari di panti. Kerinduannya dengan keluarga harus ia pupuk dalam-dalam tatkala mengingat perlakuan buruk anak menantu. Ia diseret bahkan dipasung oleh perempuan yang dicintai anaknya. Peristiwa demi peristiwa buruk terjadi, sampai pada akhirnya ia dibawa ke panti dengan pakaian lusuh tanpa dibekali selimut atau apapun.

Sekelebat ingatan kebahagiaan dengan keluarga di masa lalu kadang bisa mengobati kerinduannya dengan anak cucu. Namun jika tidak, ia hanya bisa pasrah berdoa kepada Allah. Berdoa agar anak-anaknya terbuka hatinya dan mau mengunjunginya sebelum ia dijemput takdir untuk menghadap Yang Maha Kuasa. Bersama nenek-nenek lain, Nenek NS mencurahkan kerinduannya dengan menulis surat.

"Tolong beri kabar ibu yang sudah rindu padamu. Selalu menunggu-nunggu kedatanganmu."

Lalu saya menanyakan, apakah suratnya terbalas atau tidak. Nenek NS menjawab,

"Belum dikirim. Tinggal bikin surat aja. Banyak ibu-ibu yang nyimpen surat."

-

Idealnya, kerinduan mengantarkan kita pada pertemuan. Tetapi tidak bagi orang-orang yang tidak memiliki kesempatan. Kerinduan tinggal hanya kerinduan.

Hanya bisa dicurahkan pada segunung surat, yang tidak pernah bisa dikirimkan.

Beruntunglah untuk siapa saja yang memiliki kesempatan untuk bersama dengan orang-orang yang dicintai. Kita memang tidak perlu untuk membersamainya selama 24 jam. Tapi setidaknya, kita tidak memilih untuk pergi meninggalkan.

-Depok, di sore hari, sambil menyeka air mata.


Tidak ada komentar