Barangkali yang kita gusarkan itu hanyalah gejala.
Akar masalahnya adalah justru sesuatu yang lain.
-
Saat di pendidikan S1 dulu, aku sering banget ditanya balik oleh dosen mengenai argumentasi tentang suatu perilaku. Menurut aku, dan teman-teman, adalah abcd. Dari ciri-cirinya sepertinya mengarah ke suatu teori, atau diagnosis tertentu.
“Kamu yakin bahwa itu masalahnya? Jangan terkecoh.”
Katakanlah ada seorang yang mengaku kesepian. Dalam waktu singkat, orang mungkin menganggap bahwa kesepian memang masalahnya. Solusinya harus memperbanyak teman atau bertemu orang lain. Tapi, barangkali kesepian itu seperti demam. Ia adalah gejala yang menunjukkan adanya masalah di bagian diri yang lain. Bisa karena infeksi dan lainnya.
Bisa jadi, kesepian hanyalah gejala.
Akar masalahnya adalah ketidakmampuan kita dalam menghidupi keheningan jiwa.
Buktinya?
Orang bisa tetap merasa kesepian meskipun sudah dalam keramaian.
Ini seperti halnya orang-orang, atau mungkin aku tanpa disadari, yang mengelu-elukan seseorang atau sesuatu hanya berdasarkan apa yang tersaji. Misal, orang begitu memuja Nia Ramadhani yang meski sudah beranak pinak, tapi tetap langsing, mulus, dan luar biasa sempurna.
“Apalah gue yang baru 20-an aja udah kayak emak-emak dibandingkan Nia Ramadhani.”
Penjelasan mengakarnya adalah, Nia Ramadhani bisa tampil begitu karena uang. Berapa pelayan yang mengerjakan tugas-tugas rumah dan pengasuhan anak. Berapa biaya perawatan wajah dan badan untuk bisa langsing dalam waktu singkat dan mulus tanpa cela. Berapa uang, uang, dan uang yang dikeluarkan untuk itu semua. Jumlahnya? Sudah pasti berseri.
Pertanyaan selanjutnya, dari mana uang berlimpah itu berasal? Seoalah takkan habis tujuh turunan. Apakah uang berlimpah itu didapat dari proses bisnis yang adil? Bisnis yang memberikan upah layak bagi karyawannya, keselamatan kerja yang sesuai standar, asuransi terjamin, kerugian yang menimpa pihak lain digantikan dengan setimpal, dan lain sebagainya.
Pertanyaan itu yang perlu menjadi perhatian Bersama. Untuk apa? Ya untuk kepentingan bersama. Kok gitu?
Sebab, kecantikan Nia Ramadhani, mau kita puja puji sampai kiamat sekalipun, tetaplah milik dia dan tidak ada manfaatnya untuk kita semua. Tapi kalau yang kita perhatikan adalah gunung es di balik kecantikan dan kemewahannya, itu mendatangkan banyak dampak positif untuk kelangsungan hidup bermasyarakat kita: kita jadi lebih paham apa-apa yang perlu dilakukan dan diperjuangkan bersama. Mungkin akan terinspirasi untuk tergabung dalam serikat pekerja untuk memperjuangkan hak, mungkin akan terinspirasi untuk belajar kebijakan publik agar bisa meregulasi dan pengetatan sanksi badan usaha yang menyepelekan hak karyawan, dan lain-lain. Dampaknya akan sampai ke kita: berkat ada orang yang berani memperjuangkan hak-hak kita semua sebagai kaum pekerja.
Begitu pula saat melihat keberhasilan seseorang.
“Enak ya usia muda tapi sudah bisa abcd.”
Yang terasa di hati dari kalimat itu ya hanya perasaan rendah diri, lalu membandingkan dengan kegagalan diri sendiri, atau mungkin kalau berkepanjangan bisa sampai depresi. Coba kalau kita berpikir mengakar dari kasus itu.
Sudah berapa banyak kegagalan yang dia rasakan? Siapa orang tua atau social support dia sehingga dia bisa bangkit? Apakah dia berangkat dari titik yang sama seperti kita? Bagaimana dia bisa bersekolah di situ? Dan lain-lain.
Kalau berhasil terjawab, kemungkinan besar kita akan berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain. Kalau di matematika saja perlu menyamakan penyebut (pembanding), dalam kehidupan nyata rumusnya juga sama.
Yang mana, tidak ada orang yang memiliki pembanding sama persis dengan orang lain.
Anak kembar sekalipun, tetap ada bedanya. Jalan hidupnya sudah pasti berbeda, yang membuat mereka memiliki persepsi dan sifat yang berbeda karena pengaruh pengalaman yang ditemui. Jadi, sudah jelas bahwa tidak bisa membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
-
Sebetulnya masih banyak hal yang bisa diambil manfaatnya dari berpikir mengakar ini. Agar kita tidak terkecoh pada hal-hal yang dangkal, lalu abai pada hal-hal yang fundamental. Tapi ya, lanjut nanti saja. Aku sudah lapar.
Tidak ada komentar