Jari jemari Mama adalah alasan di balik pensil-pensilku runcing dan siap untuk aku gunakan di sekolah, setiap pagi. Alasan di balik baju-bajuku yang dipermak agar pas di tubuhku. Alasan di balik sepatu hitamku yang mengkilap setiap pagi. Sampai alasan di balik model potongan rambutku yang saat kecil melulu itu-itu saja. Semua itu, tak lain adalah karena jemari terampil Mama.
Pernah suatu malam, dalam lelapnya, aku mengusap tangan Mama yang empuk. Aku genggam jemarinya yang tak lagi lembut, tapi tetap menenangkan. Aku perhatikan garis tangannya, lalu kemudian aku menggenggamnya lagi. Lebih erat.
Ketika di rumah, aku punya sejuta alasan untuk mencium tangan Mama. Kapanpun aku pamit akan pergi, pamit akan mandi, pamit mau makan, dan segala macam aktivitas. Sambil tertawa, aku pamit
"Ma, pamit dulu. Aku mau mandi. Jangan kangen sama aku yah."
Iya, hanya karena aku ingin mencium tangan Mama dan menggenggam jemari Mama. Namun makin ke sini, aku semakin sulit untuk menggenggam jemarinya. Jarak yang jauh, dan susahnya pulang ketika memang bukan periode liburan. Aku hanya bisa menerka-nerka dengan jemariku sendiri, seperti apa jemari Mama sekarang.
Sungguh, aku ingin perkenalkan padamu betapa empuknya jemari Mamaku. Jemari yang mungkin bisa menenangkanmu dari hari-hari yang bertambah penat. Jemari yang siap membuat makanan-makanan yang mungkin kamu suka. Dan, jemari yang akan kamu cium di suatu sore, entah sebagai tamu atau anak menantu.
-Depok, di saat UI sedang sepi-sepinya.
Tidak ada komentar