Kalau diminta menyebutkan apa hal yang palit sulit dalam hidup, aku akan bilang: mengerti jalan pikiran pria. Yang kadang hangat seperti matahari pagi. Yang kadang dingin, seperti es. Yang wajahnya mudah sekali muncul dalam benak, meski tidak bertemu. Yang ketika ingin aku lupakan, justru semakin menguat.
Semalam aku memutuskan untuk mengalihkan medium tulisanku ke blog ini. Tidak akan aku post di mana-mana lagi. Meski terdengar sepele dan tidak penting bagi sebagian orang, justru keputusan ini adalah keputusan terberat dan terpenting dalam hidupku. Menulis adalah kegiatan yang aku sukai, melebihi aku menyukai saus mentai. Apalagi di Instagram, tempat di mana teman-temanku menikmati satu menit tulisan singkatku.
Kata mereka, tulisanku di Instagram Story (IGS) bak angin segar dan bahkan ditunggu-tunggu. Tidak masalah, sebab kita memang adalah angin dalam hidup orang lain. Muncul hanya sekian detik untuk menawarkan kenyamanan atau bahkan meringankan kesedihan. Aku tidak masalah dengan ini, sampai ada seseorang yang terus mengganggu pikiranku dan dia, ada di sana.
Sebut saja Stormy. Dia adalah senior satu kampus yang pernah bertemu hanya sekali, bertahun lalu. Kami baru terkoneksi kembali pada bulan Maret 2021, tetapi bukan berarti aku baru menaruh perhatian kepadanya. Singkat cerita, kami beberapa kali berkomunikasi. Beberapa kali dia merespon tulisanku di IGS. Beberapa kali aku juga memberanikan diri untuk merespon pikiran yang dia bagi di IGS juga. Merespon seseorang tidak pernah semelelahkan ini sebelumnya. Aku selalu terpikir,
Do I look like a dumb by saying this?
Do I look like attention seeker by responding him effortfully?
Do I look like disturber if I waste his time?
So on and so forth.
Aku tidak bisa berbicara banyak tentangnya karena memang tidak ada apa-apa di antara kami. Mungkin dalam tulisanku ke depan, akan ada sisipan buah pikir darinya karena memang hanya sebatas itu interaksi kami.
Kalau hanya sebatas itu, kenapa aku sampai ingin ditelan bumi dan pergi dari IGS?
Padahal seharusnya cinta dari teman-teman pembaca bisa menahanku lebih lama di sana.
Well.
He is a man of my dream.
Baik itu mimpi di kala terjaga, juga dalam tidur lelapku.
Aku tidak akan menjelaskan kenapa-kenapa sekarang, mungkin nanti saat sudah move on. Kadang-kadang, otak kita menjadi separo a.k.a not in a mindful mode when it comes to… love? Jadi aku tidak akan membiarkan diriku lepas kendali dan ngomong ngelantur lebih jauh kalau-kalau kami berkomunikasi. Something better left unspoken, let alone if I already know the no answer from him implicitly.
Itu adalah kalimat yang mungkin menjadi akhir dari percakapan kami?
Kalimat yang membuat hidupku gelap dan terang di waktu yang sama. Hidupku terasa lebih cerah seketika karena dia mau meluangkan waktu sekian detik untuk menulis itu. Lalu gelap karena aku merasa itu akan menjadi akhir perbincangan kami.
Tapi ya, memang butuh keputusan besar untuk sesuatu yang penting, kan? Kalau dia tidak sepenting itu, aku tidak akan beranjak dari sana.
Sebentar lagi aku akan menjalani sidang tesis, dan moga-moga lancar sampai aku lulus resmi sebagai M.Si dari Ilmu Komunikasi Univesitas Indonesia. Kampus kesukaanku, juga kampus kami. Meski sudah sama-sama anak FISIP, kami juga sama-sama peduli dengan isu sosial dan kepemudaan, tapi tidak cukup untuk menjadi bahan perbincangan kami.
Entahlah.
Maybe he’s gay.
Oh, aku jadi punya rencana setelah lulus nanti. Aku akan meningkatkan kemampuan Bahasa Inggrisku agar lebih aktif. Dua tahun lalu aku mengambil tes TOEFL di UGM dan mendapat skor 553. Selama 7 tahun ini juga aku sudah membaca literatur dalam Bahasa Inggris sih, jarang sekali dalam Bahasa Indonesia. Tapi ya masih pasif. Semoga bisa menjadi modal agar aku bisa lebih advance in English, seperti dia.
Tidak ada komentar