Ayah

 


Beberapa bulan lalu, aku mendengar kabar bahwa istrinya temanku, melahirkan seorang putri. Dia juga menemati proses persalinan istrinya. Bahkan dari jauh-jauh hari ia sudah mudik, agar sewaktu-waktu istrinya melahirkan, ia ada.


Dari kisah singkat itu, mungkin kamu menanggap bahwa temanku adalah suami dan ayah yang baik. Mungkin ia belajar dari ayahnya?


Sayangnya, tidak. Ia lahir dan tumbuh tanpa mengenal ayahnya. Ia hanya tahu namanya saja, tetapi tidak pernah bertemu. Ayahnya pergi dan tidak pernah menganggap kehadirannya.


Beberapa teman baikku juga tumbuh besar tanpa pendampingan seorang ayah. Juga kedua orang tuaku. Ada yang meninggal dunia sejak masih anak-anak dan ada yang sengaja meninggalkannya.


Bertahun-tahun lalu, aku sering menuliskan berapa hebatnya ayahku, atau yang aku panggil “Bapak”. Mungkin ada satu-dua orang yang masih ingat, seperti misalnya tulisan tentang secangkir kopi. Aku tidak kepikiran apa-apa saat itu, aku menulis hanya ingin menceritakan Bapak yang penuh kasih sayang, sangat bertanggung jawab, tidak pernah membentak dan kasar sekalipun, dan punya kesabaran yang luar biasa.


Sampai si temanku yang ada di cerita awal membaca dan berkomentar: sayangnya aku tidak punya orang tua seperti itu Tis.


Aku terkejut, merasa bersalah, dan menyadari banyak teman-temanku yang sejak kecil tidak merasakan kehadiran ayah. Hadir saja tidak, apalagi kasih sayang dan segala macamnya. Namun aku bahagia, bahwa meski ia lahir dan besar tanpa kehadiran ayah, temanku bisa menjadi ayah yang bertanggung jawab dan penuh kasih sayang.


Pesan moralnya adalah BERHENTI DI KAMU.


Aku yakin bahwa kita semua mengalami banyak hal-hal tidak ideal dalam hidup. Seperti Bapak misalnya, sudah kehilangan ayahnya karena beliau meninggal dunia saat usia Bapak bahkan belum SD. Temanku misalnya, sampai pada hari pernikahannya pun ayahnya tidak hadir. Betul-betul sekalipun tidak pernah.


Tetapi kedua laki-laki ini, bisa menjadi sosok yang mungkin ia dambakan sedari dulu. Satu-satunya hal yang Bapak sesali dalam hidup ini, sebagaimana yang beliau ceritakan, adalah pahitnya hidup setelah ayahnya meninggal. Sekolah sampai SMA saja tidak bisa, padahal ingin sekali. Karena itu, Bapak berusaha keras agar aku bisa sekolah dan hadir setiap hari dalam hidupku. Telpon sedang di mana, lagi ngapain, sudah sholat/makan atau belum, dan lainnya.


Juga temanku. Ia memutus mata rantai itu. Ia menjadi laki-laki yang jauh berbeda dengan ayahnya. Ia tidak ingin membiarkan istrinya melahirkan sendirian, sebagaimana yang dialami ibunya. Ia tidak ingin menelantarkan istrinya, sebagaimana yang dirasakan ibunya. Ia hadir saat istrinya melahirkan dan juga bekerja apa saja di kampungnya itu. Selama ini sih dia jualan makanan ringan, tapi tidak tahu sekarang.


Jadi, saat kita diperlakukan buruk atau mengalami hal-hal buruk dalam hidup, please berhenti di kita aja. Yang orang tuanya melakukan kekerasan, tolong jangan ditiru dan berhenti di kamu aja. Aku yakin kamu, dan kita semua, bisa memutus mata rantai itu. Agar hal buruk tidak panjang umur dan malah merusak peradaban selanjutnya.

 

Tidak ada komentar