Aku tidak pernah menyangka bahwa rasa manis bisa menjadi pahit di tangan waktu. Meski indra pengecapmu tetap sama dan kenyataan yang kamu rasa juga sama seperti dulu. Tapi seiring waktu, rasa manis yang dulu membuatku setiap hari tersenyum telah menjadi rasa yang lain. Ia bertransformasi menjadi pahit dan asam seperti kopiku pagi tadi.
Beratus hari belakangan adalah mimpi indah yang tidak ingin aku ingat kembali. Kalau kamu melihat beberapa tulisanku sebelum ini, ada satu orang yang kerap aku ceritakan. Bukan hanya kerap, bahkan ia menjadi aktor utama di semua tulisanku. Ia menjadi siang dalam malamku. Juga menjadi dingin dalam semua hangatku.
Setiap hari aku menulis sesuatu tentang dia, atau yang berkaitan dengan dia, atau yang aku tujukan untuknya. Aku tidak pernah kehabisan akal kapanpun namanya melintasi benak. Ada saja yang ingin aku tulis. Seperti sekarang ini. Sebetulnya aku sudah menahan diri untuk tidak menulis apapun tentang dia lagi. Sebab, ya... untuk apa?
But... here I am.
Jadi mengapa aku menulis?
Tidak ada alasan selain karena dia ulang tahun yang ke-30.
Selamat ulang tahun, ya.
Maaf karena telah mencintaimu dengan cara yang mengganggu.
Aku tidak punya harapan panjang lebar untuknya karena sudah habis jatahku.
Semua yang ingin aku katakan sudah berakhir di tempat sampah setelah dia membuangnya.
Aku sudah sekuat tenaga untuk mengabaikan ingatan ini, tapi tetap saja ingat. Bulan Desember lalu, sepertinya aku sudah pernah menulis ucapan selamat ulang tahun untuknya. Iya, 2 bulan lebih awal. Memberi ucapan selamat ulang tahun kan bisa kapan saja, tidak harus hari-H. Tapi, mau kapanpun aku mengucapkannya, tetap saja tidak ada gunanya. Kenapa? Ya karena tidak akan dibaca juga. Tak ada ubahnya seperti menggarami lautan. Iya, sia-sia. Meski begitu, apa yang aku lakukan selama hampir 2 tahun belakangan ini juga jauh lebih sia-sia sih. Mengucapkan selamat ulang tahun hanya seujung kuku dari semua gombal gembel dan apa-apa yang aku lakukan dari jauh.
Lalu apakah karena itu semua jadi terasa pahit sekarang?
Bukan, bukan karena berakhir sia-sia tapi karena aku malu pada diriku sendiri.
Aku sangat malu.
Sangat malu.
Juga... marah. Pada diri sendiri tentu saja.
Aku malu dan marah karena telah melakukan semua itu. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah aku lakukan karena justru membuat orang yang aku cinta... membenciku. Mengapa aku begitu lamban dalam menyadari bahwa penolakan dapat berkamuflase dalam banyak rupa. Begitu bodoh untuk tahu bahwa tidak semua orang butuh cinta. Atau... tidak semua orang butuh apa yang aku berikan. Bahkan justru mengganggu. Sama mengganggunya seperti suara nyamuk yang menggema dalam malam.
Aku... sangat malu.
Aku malu dan marah terhadap diriku sendiri karena menjadi nyamuk.
Kalau aku bisa mengulang waktu, aku tidak akan melakukannya. Bukan hanya mengganggunya, tapi juga rentan mati karena tidak diinginkan.
Padahal, kalau nyamuk tidak beredar di sekitar orang yang membencinya, ia bisa melanjutkan hidup. Bukankah Tuhan tidak menciptakan satu nyawa tanpa memberinya manfaat? Dalam ekosistem kehidupan ini, ada banyak justru membutuhkannya dan membutuhkan dengungannya.
Untuk alasan yang sama, aku tidak akan lagi mengulangi kesalahan serupa.
Kalaupun aku adalah nyamuk, aku hanya perlu berada di alam bebas dan melanjutkan perjalanan. Beban malu dan rasa marah terlalu berat untuk aku tanggung setiap hari.
Tidak ada komentar